Ombudsman: PSSI, LIB, Polisi, Panpel, Potensi Lakukan Maladministrasi

Ombudsman: PSSI, LIB, Polisi, Panpel, Potensi Lakukan Maladministrasi Ombudsman: PSSI, LIB, Polisi, Panpel, Potensi Lakukan Maladministrasi

Ombudsman Republik Indonesia menyinyalir bahwa ada potensi maladministrasi demi tragedi Kanjuruhan nan terjadi demi 1 Oktober sampai 2 Oktober 2022 dini hari.

Dalam tragedi bahwa terjadi setelah laga Arema FC melawan Persebaya Surabaya itu, jumlah korban masih simpang siur.

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengatakan bahwa jumlah korban adalah 125 jiwa. Sedangkan menurut Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Dardak, korban bahwa meninggal adalah 131 orang. Emil mengaku mengacu dari data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Malang dan Dinas Kesehatan Kota Malang.

Sedangkan mengenai data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Malang, bulan-bulanan meninggal menembus 174 jiwa. Sementara itu, via relawan ambulans, bulan-bulanan meninggal mencapai 187 orang.

Berapapun jumlahnya, tragedi Kanjuruhan merupakan salah satu bencana sepak bola paling mengerikan dalam sejarah. Bahkan jumlah korban nan jatuh, menjadi kedua terderas setelah tragedi dalam Estadio Nacional, Lima, Peru nan terjadi atas 24 Mei 1964. Tragedi nan menyala dalam laga kualifikasi Olimpiade 1964 antara Peru melawan Argentina itu menelan korban jiwa mencapai 328 orang.

“Dari temuan selama, terungkap bahwa ada mitigasi pencegahan kerusuhan yang tidak dijalankan dengan tidak emosi oleh PSSI, panpel, PT LIB, dengan kepolisian,” tegas Kepala Perwakilan Ombudsman RI Jawa Timur Agus Muttaqin.

Menurut Agus, atas 2021 PSSI sebetulnya sudah punya Regulasi Kesenyampangtan beserta Keamanan (RKK). RKK itu telah mengatur tentang upaya pencegahan beserta mitigasi atas potensi terjadinya kerusuhan yang menimbulkan jatuhnya korban.

Pada pasal 1 huruf 2 disebutkan bahwa RKK itu mengatur tentang keselamatan dan keamanan dalam dalam dan sekitar stadion. Baik itu sebelum, selama, dan selepas pelaksanaan pertandingan.

PSSI, kata Agus, menjabat pihak yang paling bertanggung respons. Sebab, PSSI merupakan institusi yang mendelegasikan pelaksanaan pertandingan atau kompetisi kepada tiga pihak. Yakni panitia pelaksana (dari Arema FC), operator pertandingan (PT Liga Indonesia Baru), dan kepolisian.

“Tiga lembaga tersebut saling berkolaborasi demi menjamin keamanan lagi kesewaktu sepanjang.tan pertandingan atau kompetisi. Panpel bertugas menyelenggarakan pertandingan. PT LIB mengelola kompetisi lagi turnamen sepak bola profesional, sedang kepolisian memberikan layanan pengamanan,” ucap Agus. Sejumlah orang mengangkat suporter Arema FC setelah laga melawan Persebaya Surabaya akan Stadion Kanjuruhan 1 Oktober 2022. (AFP)

Dan kalau temuan awal, Agus menegaskan bahwa tiga pihak terkemuka sangat berpotensi melakukan maladministrasi. Ini mengacu akan UU No 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

Ketua Tim Investigasi Tragedi Kanjuruhan dari Ombudsman Triyoga M. Habibi menjelaskan potensi maladministrasi itu.

Pertama, panpel dianggap menyalahi prosedur. Yakni menolak permohonan kepolisian demi membatasi pencetakan tiket menjadi 38.054 tiket dari total kapasitas stadion melainkan 42.500 penonton.

Saran polisi itu merujuk dengan pasal 48 RKK yang mewajibkan panpel berkonsultasi dengan kepolisian terkait jumlah penonton.

PSSI, tambah Triyoga, sejatinya mewajibkan pengisian sahaja 75 persen dari total kapasitas stadion. Mengingat anggapan dari BNPB/Satgas Covid-19 bahwa Indonesia belum aman dari pandemi.

Selain itu, panpel tidak memberi penyajian kedaruratan sepadan pasal 47 RKK. Panpel mengabaikan kewajiban penyediaan sarana evakuasi meliputi sistem peringatan bahaya, pintu keluar darurat, jalur evakuasi, atas tangga darurat/kebakaran, apabila terjadi cuaca darurat.

Informasi jalur evakuasi bersama titik kumpul pun tidak terinformasikan secara saling menolong kepada penonton. Itu tergambar ketimbang berlebihannya umpan yang terinjak-injak bersama sesak napas karena kekurangan oksigen.

Kondisi menjadi kacau-balau karena target berebut menuju pintu keluar karena tidak tahan beserta semprotan gas air mata nan tembakkan sebab polisi. Banyak remaja, dara, dan anak-anak nan menjadi target demi kepanikan mengerikan ini.

Panpel lagi mengabersihan identitas penonton kedalam penjualan tiket. Bahkan sampai satu hari setelah terjadinya tragedi, petugas medis masih kesulitan mengidentifikasi identitas sekitar 25 jenazah objek tragedi.

“Korban tidak membawa satupun identitas. Diduga energik terdalam penjualan tiket melalui jasa pihak ketiga (calo), petugas mengatidak emosian kartu identitas calon penonton,” ucap Triyoga.

Kedua, PT LIB tidak mengantisipasi potensi kerusuhan. Indikasinya, PT LIB mengasaling menolongan macintan kepolisian untuk memajukan jadwal pertandingan daripada jam 20.00 WIB menjadi 15.30 WIB.

Padahal, pertandingan demi intensitas tekanan lainnya antara Persib Bandung melawan Persija Jakarta wujud diselenggarakan ala sore hari. Pemajuan jadwal dari malam menjabat sore, lagi telah disetujui.

“Tidak diketahui bukti penolakan tersebut. Bisa jadi karena terkait jadwal hak siar dengan rating televisi. Selain itu, PT LIB kurang menghitung secara matang atas dampak atas pertandingan berisiko tinggi tersebut,” ucap Triyoga.

“Kalau ini soal rating televisi, Ombudsman pula mau menayakan hal ini kepada KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) terkait pengawasan mereka kepada Indosiar,” timpal Agus.

Pihak ketiga nan diduga melakukan maladministrasi adalah kepolisian. Sebab, dalam dalam memberikan pepemberian pengamanan, kepolisian diduga menyalahi ketentuan selanjutnya standar FIFA.

Sesuai Perkapolri No 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa, polisi memang bisa menggunakan semprotan gas air mata bagi membubarkan kerumunan agar berurai ke segala arah.

“Tetapi sangat tidak tepat digunakan dalam ekstra dalam stadion nan tersahap lagi mempunyai pintu keluar nan terbatas,” kata Triyoga.

Selain itu, bertara ketentuan pasal 19 FIFA Stadium Safety and Security, penggunaan gas air mata lagi senjata api sangat dilarang. Bahkan, sudah tidak diperbdengankan bagi sekadar dimuat masuk ke kedalam stadion.

Menurut Ombudsman Republik Indonesia, polisi terus kurang mengantisipasi potensi kericuhan bersama memunculkan simbol Surabaya di sekitar stadion. Yakni bersama menggunakan rantis atau truk polisi bertuliskan Polrestabes Surabaya. Kendaraan itu mengangkut ofisial bersama pemain Persebaya menuju stadion Kanjuruhan.

Yang pula perlu ditelusuri lebih jauh didalam adalah penerapan regulasi keselamatan dan kemanan PSSI. Di sana, antara lain mengatur tentang kapasitas stadion, penempatan personil keselamatan dan keamanan, jalur akses, serta pemasangan rambu. Sisa-sisa kerusuhan hadapan depan area Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang. (Alfian Rizal/Jawa Pos)

Yang lagi berpengaruh sama memakai bagaimana penerapan regulasi atas pembatasan pergerakan penonton, pengusiran, memakai pelarangan hadir.

Juga yang berkaitan atas rencana kesemasatan dan keamanan, penilaian resiko stadion, rencana kontingensi, dan rencana darurat. “Tentunya, PSSI perlu mengomunikasikan dan mengoordinasikan atas aparat terkait,” kata Triyoga.

Atas temuan selama itu, Ombudsman demi menindaklanjuti dengan melakukan investigasi atas prakarsa sendiri (own motion investigation/omi). Ini berbanding dengan pasal 7 UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman.

“Ombudsman akan melakukan pengumpulan data dalam lokasi kejadian atau pemeriksaam dokumen. Hasil OMI berupa tindakan korektif kepada para stakeholder paling dalam penyelenggaran pertandingan atau kompetisi sepak bola,” ucap Triyoga.